Tidak banyak di antara kita yang hingga detik ini masih memikirkan urusan akhiratnya. Setiap hari kita dihadapkan pada orang-orang yang sibuk dengan urusan dunianya, apalagi ketika kondisi pandemi seperti ini. Usaha yang macet, banyak barang di gudang yang tidak terjual, dan kemungkinan-kemungkinan bisnis yang bangkrut. Mereka-mereka itu merasa bahwa hidupnya terpuruk

Kesalahan pemahaman kita terhadap keterpurukan adalah bahwa keterpurukan tersebut selalu dalam hal dunia, bukan keterpurukan akhirat. Padahal keterpurukan terbesar adalah ketika kita terlibat masalah di hari akhir kelak. Di saat yaum al-akhir tiba, dan kita melihat bahwa ternyata kita bergelimang dosa, maka itulah terpuruk yang sebenarnya. Allah memberikan perumpamaan orang-orang seperti itu dalam firman-Nya:

“Dan (ingatlah) hari (ketika) langit pecah-belah mengeluarkan kabut putih dan diturunkan malaikat bergelombang-gelombang. Kerajaan yang hak pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan Yang Maha Pemurah. Dan adalah (hari itu) satu hari yang penuh kesukaran bagi orang-orang kafir. Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata, “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul.” (QS. Furqon ayat 25-27).

Allah telah mengingatkan kepada kita tentang siapa orang-orang yang beruntung, yaitu ketika Allah menyelamatkan orang dari api neraka. Dalam firman-Nya Allah menjelaskan:

“dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya” (Q.S. Ali Imran 103)

Salah satu penyebab orang terjerumus ke dalam api neraka adalah karena manusia mengejar dunia. Telah banyak dalil yang menjelaskan bahwa kesenangan dunia adalah fatamorgana, Rasulullah menjelaskan bahwa di sisi Allah, dunia hanya sebatas sayap nyamuk:

“Seandainya dunia di sisi Allâh sebanding dengan sayap nyamuk, maka Dia tidak memberi minum sedikit pun darinya kepada orang kafir.” (HR. At-Tirmidzi, no. 2320 dan Ibnu Mâjah, no. 4110.)

Mengejar Dunia untuk Akhirat

Lalu bagaimana dengan orang yang berdalih bahwa dia bekerja keras di dunia agar keluarganya dapat beribadah dengan tenang? Lalu kemudian ia meluangkan semua waktunya untuk mengejar dunia dan sangat sedikit waktunya untuk akhirat.

Allah telah menegaskan perintah bahwa dunia perlu untuk dipikirkan hanya jika memikirkan dunia itu beriorientasi pada mendapatkan akhirat. Telah banyak contoh-contoh dari para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan para ulama terdahulu yang hidupnya mudah, segala kebutuhan hidupnya diberikan oleh Allah, dan mendapat akhirat pula.

Apa rahasianya?

Ibnu Abid Dunya dalam kitabnya Kitab Al-Ikhlas menerangkan bahwa para ulama terdahulu, jika mereka bertemu, maka mereka saling menasihati. Apabila mereka tidak saling bertemu, maka mereka menulis. Terdapat tiga kaidah yang para ulama itu tulis. Tiga kaidah tersebut kemudian mereka gunakan sebagai pedoman hidup. Ketiga kaidah tersebut adalah:

  1. Barangsiapa yang memperbaiki batinnya, maka Allah akan memperbaiki jasadnya.
  2. Barangsiapa yang memperbaiki hubungan antara dirinya dengan Allah, maka Allah akan memperbaiki hubungannya antar sesama manusia.
  3. Barangsiapa yang dia berusaha memperbaiki perkara akhiratnya, maka Allah akan memperhatikan dunianya.

Ketiga ilmu tersebut secara umum memberikan penegasan bahwa kesalahan terbesar manusia dalam usaha memperbaiki nasibnya adalah tidak memperhatikan hubungannya dengan Allah. Banyak dari manusia yang mengira bahwa dengan fokus pada permasalahan di dunia, maka masalah-masalah itu akan beres dengan sendirinya. Padahal, cara itu salah kaprah.

Dengan bersihnya hati dan baiknya hubungan dengan Allah, maka Allah-lah yang akan membangkitkan dirinya dari keterpurukan. Banyak orang yang lupa bahwa yang memberi dan mencabut masalah semua manusia adalah Allah ta’ala.

Adapun terdapat ciri-ciri orang yang berupaya untuk senantiasa memperbaiki hatinya dan mengamalkan tiga kaidah tersebut. Ciri-ciri tersebut adalah:

  1. Hidupnya selalu merasa diawasi oleh Allah
  2. Selalu memikirkan tentang bagaimana jika di keesokan harinya ia mati
  3. Melakukan amal shaleh dengan sembunyi-sembunyi, dan hanya mengharap pahala dari Allah
  4. Ketika ia melihat di depannya ada godaan maksiat, dia langsung mengingat Allah.
  5. Orang yang ketika melakukan maksiat, maka ia langsung sadar, meminta ampun, dan kemudian mengubah dirinya.

Kesimpulannya adalah, bahwa barangsiapa yang ingin bangkit dari keterpurukan maka harus berupaya untuk selalu memperhatikan hubungan dan urusannya dengan Allah dan hari akhir. Seringkali kita salah kaprah bahwa dengan fokus kepada urusan dunia saja, masalah-masalah tersebut akan terselesaikan. Sebagai bukti, banyak dari para sahabat dan ulama yang diberi kemudahan atas urusan dunianya karena dirinya dekat dengan Allah subhanahu wa ta’ala. (lal)

tonton tausyiah lengkapnya di Youtube Channel Al-Irsyad Al-Islamiyyah Surabaya