Pada bagian kali ini, akan dipaparkan tentang apa yang ditulis oleh Hussein Badjerei di BAB V yang berjudul “Jami’at Khair” dan BAB VI yang berjudul “Ahmad Soorkaty”.
Hussein menulis tentang Jami’at Khair hanya sebatas enam halaman. Tentu tidak salah meskipun Jami’at Khair adalah salah satu topik penting dari sejarah umat Islam di Indonesia, namun keberadaannya di sini hanya sebagai penyambung realitas dari keberadaan Al-Irsyad sebagai topik utama.
Hubungan antara Jami’at Khair dan Al-Irsyad adalah hubungan yang cukup sensitif. Keduanya mewakili jenis kesukuannya masing-masing dan tendensi etnisitas keduanya juga cukup kental. Namun Hussein Badjerei cukup netral dalam memberikan penjelasan tentang Jami’at Khair.
Ia menuliskan bahwa Jami’at Khair merupakan organisasi “modern” yang didirikan oleh golongan “terpelajar” darii keluarga Shihab dan Yahya. Ia juga dengan bangga menyebut salah satu staf pengajar Jami’at Khair yang bernama Muhammad Alhasyimi sebagai orang yang pertama kali memperkenalkan gerakan Kepanduan dan mendirikan Kepanduan umat Islam di Indonesia. Hussein menulis, “ia mestinya bisa disebut sebagai Bapak Kepanduan Islam Indonesia.”
Jami’at Khair adalah organisasi yang didirikan pada 17 Juni 1905 berdasarkan surat yang dikeluarkan oleh Gubernur Jendral J. V. Van Heutz. Meski begitu, pengajuan pendirian organisasi ini sudah dimulai pada tahun 1903.
Organisasi ini pertama kali diketuai oleh Said bin Ahmad Basandid, wakil ketua oleh Muhammad bin Abdullah bin Shihab, Sekretaris oleh Muhammad Alfakhir Almasyhur, dan Bendahara oleh Idrus bin Ahmad bin Shihab.
Tujuan Jami’at Khair adalah untuk memberikan pertolongan bagi orang-orang Arab baik lelaki maupun perempuan yang tinggal di Jakarta dan sekiyarnya saat kematian dan saat mengadakan pesta perkawinan berbentuk uang dan barang-barang seperti pakaian, kain putih dan lain-lain, kemudian mendirikan sekolah pertama di Pekojan Jakarta.
Status kemoderenan organisasi ini ditandai dengan adanya Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Buku Anggota, Notulen Rapat, Iuran Anggota dan lembaga control anggaran seperti Rapat Tahunan dan lain-lain.
Setelah penjelasan tentang pendatangan Syaikh Ahmad Surkati pada tahun 1911 sebagai pengajar di Jami’at Khair, Hussein lebih banyak bercerita tentang hubungan Surkati dengan Jami’at Khair, terutam tentang “Peristiwa Solo”. Setelah kejadian di Solo tersebut, Ahmad Surkati keluar dari Jami’at Khair dan mendirikan Madrasah Al-Irsyad dengan dibantu oleh Kapten Arab di Jakarta yaiitu Umar Yusuf Manggus.
BAB VI – Syaikh Ahmad Soorkaty
Porsi deskripsi tentang Syaikh Ahmad Surkati banyak dipaparkan ketika beliau berada di Indonesia. Hanya satu setengah halaman saja Hussein menceritakan latar belakang Surkati sebelum datang ke Indonesia. Setelahnya, Hussein menceritakan Surkati secara sinkronis, tidak berurutan waktu, hanya bersifat kasuistik.
Ahmad Surkati adalah seorang Sudan yang berasal dari keturunan Jabir bin Abdullah al-Anshari, salah seorang sahabat Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah dari golongan Anshar. Oleh karena itu Ia biasa disebut Syaikh Ahmad Surkati al-Anshori. Kata “Soorkaty” berasal dari kata “Soor” yang berarti kitab-kitab yang berbobot, dan “Katty” yang berarti bertumpuk-tumpuk atau banyak. Kata-kata itu merupakan dialek daerah Dunggalah Kuno.
Bagusnya yaitu bahwa Hussein tidak mengulangi kisah yang ada di bab sebelumnya, termasuk kasus Fatwa Solo. Setelah datang ke Indonesia, kemudian langsung dipaparkan partisipasi dan kontribusi Surkati dalam pergerakan umat Islam saat itu. Hadirnya Surkati di momen MIAI dan persengketaan di tubuh Sarekat Islam (SI) tertampil dengan detail.
Sebagai orang pers, sangat wajar ketika majalah az-Zachirah al-Islamiyyah di-“hiperbola”-i oleh Hussein Badjerei. Ia menulis, “penerbitan majalah ini ternyata telah menggoncangkan para ulama serta bumi santri Indonesia, sebab lewat penerbitan ini telah dibongkar puluhan hadits palsu dan hadits-hadits yang lemah sanadnya, yang sebelum itu tidak disadari oleh masyarakat muslimin Indonesia.” Tentang majalah ini dibahas beberapa kali dalam satu bab.
Pembahasan terpanjang dalam bab ini adalah tentang murid-murid Surkati di beberapa madrasah yang diasuhnya. Puluhan murid disebutkan dalam buku dan kesemuanya itu adalah seorang tokoh, baik nasional maupun lokal. Diantaranya murid-muridnya yang paling terkenal adalah H.M. Rasjidi, Menteri Agama RI Pertama, Umar Salib Hubeish, Sholah Al Bakri, CH. O. Van der Plas, seorang konsul Belanda di Jeddah, dan G.F. Pijper, orientalis asal Belanda.
Penutup dari bab ini adalah kondisi Surkati yang mengalami kebutaan di masa akhir hayatnya. Diceritakan bahwa Soekarno datang menjenguk Surkati. Soekarno menyesal bahwa Ia baru bisa datang ketika Surkati sudah dalam keadaan buta, padahal Ia telah mengenal nama besar Surkati sejak lama. Syaikh Ahmad Surkati wafat di kediamannya, Jl. KH. Hasyim Asy’ari No. 25 Jakarta pada 16 September 1943. Ia dimakamkan di pemakaman Karet Tanah Abang Jakarta.
Wallahu’alam bisshowab.