Hussein Badjerei cukup cermat dan menyuluruh dalam memilih latar belakang pembahasan. Pada bab-bab sebelum inti, dibahaslah kondisi umat Islam di dunia dan Indonesia dalam aspek politik, sosial, dan budaya. Bab 2 yang berjudul “Kebangkitan Dunia Islam”, Hussein bercerita singkat mengenai kejumudan umat Islam di dunia. Waktu itu, syirik, khurafat dan bid’ah merajalela dan menjadi kelaziman kondisi masyarakat.
Pada abad XVIII di Jazirah Arab muncul gerakan yang dipimpin oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1703 – 1787) sebagai kelanjutan dari kiprah Ibn Taimiyah (1263 – 1328) dan Ibn Qayyim Al-Jauziyah (1292 – 1350).
Di belahan dunia lain, gerakan lanjutan muncul. Jamaluddin Al-Afghani (1839 – 1897) bersama Muhammad Abduh (1849 – 1905) dari Mesir berhasil menggelorakan semangat reformisme dengan nama “Pan-Islam” buatan Jamaluddin. Gerakan reformisme ini terkenal dengan berbagai sebutan seperti gerakan tajdid atau gerakan pembaharuan. Gerakan ini mengajak umat Islam di seluruh dunia agar kembali kepada kemurnian Al-Qur’aan dan Hadist, penggunaan akal dan sains, serta melek politik. Majalah al-Urwah al-Wutsqa yang terbit di Paris tahun 1884 tersebut mampu menggoncang dunia Islam, bahkan membuat resah dunia Barat.
Pada bab selanjutnya “Perantau Arab di Indonesia”, Hussein mengawalinya dengan motif dan kondisi perantau Arab yang datang ke Indonesia pada permulaan abad ke-XIX, meskipun hanya satu paragraf. Berikutnya Ia memberikan gambaran detail tentang kebijakan Belanda terhadap komunitas Arab. Peraturan “Kebijaksanaan Pemukiman” (Wijken Stelsel) dibuat untuk menjauhkan penduduk pribumi dari pemahaman yang datang dari luar, dan Pan Islamisme merupakan salah satunya. Akibatnya, komunitas Arab diharuskan dan hanya dapat tersentral dibeberapa tempat seperti Pekojan di Jakarta dan Ampel di Surabaya.
Antara tahun 1863 – 1866, komunitas Arab di Indonesia diberikan “Kebijaksanaan Pas Jalan” (Passen Stelsel), yaitu keharusan mendapatkan izin dari pemerintah Hindia Belanda untuk bepergian ke luar kota. Barulah setelah Wijken Stelsel dicabut pada akhir abad ke-XIX, mereka mulai mencari daerah baru seperti di Krukut dan Tanah Abang, Jakarta.
Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda untuk mengucilkan masyarakat Arab ditopang pula oleh kebijakan kependudukan yang tertuang dalam Indische Staaatsregeling yaitu pembagian strata berdasarkan ras, yaitu: 1) Eropa; 2) Timur Asing (Cina, India, dan Arab); dan 3) Pribumi. Pembagian strata ini dilakukan oleh Belanda untuk menciptakan nuansa pemisahan antar satu golongan dengan golongan lain. Diskriminasi dan politik divide et impera menguat.
Masih pada bab yang sama, Hussein memberikan penjelasan soal stratifikasi sosial masyarakat Hadrami, baik di Hadramaut sendiri maupun di Indonesia. Secara rasial, Arab Hadramaut terbagi dari empat kategori, salah satu antaranya adalah ‘Aribah, keturunan Bani Qahtan, yaitu semua orang Hadramaut, kecuali keturunan al-Muhajir, yang bernenek moyang Ahmad bin Isa Almuhajir, yaitu migran dari Irak yang datang tahun 952.
Di Indonesia, para ilmuwan Barat membagi masyarakat Indonesia-Arab menjadi dua kelompok besar, yaitu kelompok “Sayyid” dan kelompok “non-Sayyid.” Kelompok Sayyid ini disebut dengan Ba’alwi dan kelompok non-Sayyid disebut dengan syaikh. Hussein dalam bab ini memberikan kritik kepada pemberian status sosial yang tinggi kepada Ba’alwi dan pengkultusannya. Ia juga memberikan kritik terhadap pemberian gelar “syaikh” terhadap golongan non-sayyid. Ia mengatakan, “Mestinya dan sudah cukup waktunya pula bagi para peneliti untuk memulai ancangan baru …. Dengan demikian diharapkan kita akan memperoleh acuan baru yang tidak konservatif dan laik-pakai.”
Pada bab-bab ini nampaknya Hussein Badjerei mempunyai sentimental terhadap golongan sayyid. Sangat bisa dipahami bahwa isu-isu golongan dan rasial menjadi isu yang hangat saat itu. Apalagi dalam buku ini penulis mengatakan dengan lugas bahwa gaya bahasa yang digunakan ialah gaya bahasa bertutur. Sehingga bagi para pembaca masa kini, kebijaksanaan membaca sangatlah diperlukan.
Bab terakhir yang akan dibahas pada bab ini ialah “Reorientasi Politik Pemerintah Hindia Belanda.”. Namun pada bab ini Hussein lebih banyak bercerita tentang peran penasihat Pemerintah Hindia Belanda, Snouck Hurgronje. Hussein memberikan penjelasan singkat terhadap biografi Snouck, dari kelahiran hingga kisahnya mempelajari Islam.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai Adviseur, Snouck dibantu oleh seorang sayyid asal Pekojan bernama Sayyid Usman bin Abdullah Al’alawi (1822 – 1913). Karena kesetiannya terhadap pemerintah Hindia Belanda, ia dianugerahi “Bintang Salib Singa Belanda” pada 5 Desember 1899 tanpa upacara resmi.
Saat itu pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan terhadap umat Islam atas saran dari Snouck Hurgronje. Kebijakan itu adalah bersikap waspada dan melarang umat Islam dalam berkegiatan politik. Umat Islam hanya diperbolehkan beribadah dan mengadakan kegiatan-kegiatan sosial. Sedikit saja berurusan politik, akan ditumpas habis oleh Pemerintah.
Kebijakan itu diteruskan oleh Sayyid Usman dengan fatwanya yang menyatakan bahwa jihad itu bukanlah perang melawan orang kafir, melainkan perang melawan nafsu-nafsu jahat yang bersarang pada diri pribadi setiap orang.
Namun lembar baru perjuangan bangsa Indonesia dimulai sejak lahirnya “Politik Etis 1901”. Berkat kebijakan itu, Pemerintah Hindia Belanda telah membuka berbagai sekolah yang terbuka bagi umat Islam. Namun karena masih adanya diskriminasi dan sikap a priori orang Islam terhadap segala bentuk pendidikan yang datang dari Barat, maka hasrat untuk membuka lembaga pendidikan swasta Islam agaknya tidak dapat dibendung lagi.
Maka atas prakarsa para pemuka masyarakat Arab yang berfikiran maju di Jakarta, lewat proses yang tidak mudah, lahirlah Lembaga Pendidikan Swasta Islam yang besar, Jamiat Khair. (lal)