Pendidikan selalu dikaitkan dengan investasi masa depan. Seorang anak yang diberi pendidikan baik, diharapkan akan memiliki masa depan yang baik. Oleh karena itu, tiap orang tua berlomba-lomba untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi mereka. Semangat itu juga dilakukan oleh negara. Agar Indonesia mencapai masa depan yang gemilan, pemerintah mengalokasikan 20% APBD untuk sektor pendidikan. Namun, masa depan bagaimanakah yang dimaksud?
Meski secara tertulis tujuan pendidikan Indonesia berorientasi pada peningkatan kualitas mental, namun realitas berbicara sebaliknya. Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 2 disebutkan:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Namun proses dan kultur yang dialami siswa tidak demikian. Sejak berseragam sekolah, siswa dituntut untuk mendapatkan pride dan hal-hal prestige lainnya. Jamak didengar: “yang penting shalatmu benar, doamu tulus, dan akhlakmu baik. Soal harta dan kedudukan, Allah yang mengatur”. Atau, “Tugasmu kini hanya mencari ilmu, memperbaiki akhlak, dan kamu bisa sehat lahir batin. Soal nilai raport, yang penting ada progress. Jangan stress karena itu”.
Kejadian di lapangan tidak demikian. Tuntutan guru dan orang tua sama saja, “belajarlah yang giat, supaya kamu menjadi dokter atau pebisnis ulung”. Atau, “Wah, hebat. Nilai kamu tinggi, peringkat satu. Bisa nih jadi manajer perusahaan handa”. Bahkan, pertanyaan saat pertama kali masuk sekolah: “Apa cita-cita kalian!?”
Materialis sekali, bukan?
Capaian-capaian sekolah selalu dikaitkan dengan profesi dan karya yang bernilai ekonomis. Semakin banyak nilai ekonomis yang didapatkan, maka sukseslah pendidikan tersebut. Lihat saja bagaimana sekolah memajang alumni-alumninya. Urutan teratas pastilah yang berjabatan tinggi dan bergaji besar. Baik sekolah, orang tua, hingga masyarakat umum, sama-sama gemar dan bervisi sama.
Orang tua memilih sekolah yang dapat mengantar anaknya menuju kesuksesan – jabatan dan gaji besar. Sang anak juga memotivasi dirinya agak sukses salam pendidikan – menjadi pejabat dan bergaji besar. Kepala sekolah juga demikian. Meyakinkan masyarakat bahwa lembaga pendidikannya terbukti sukses –mengantarkan peserta didik kelak menjadi pejabat dan bergaji besar.
Agitasi tersebut dilakukan pula oleh pemerintah. Keberhasilan siswa Indonesia dalam olimpiade dan penciptaan alat baru merupakan indikator kesuksesan pendidikan. Hadiahnya pun demikian: piagam dan uang pembinaan (baca: fresh money). Untung saja diberikan pula beasiswa. Pokoknya, mendapat uang banyak dan popularitas adalah indikator pendidikan sukses.
Survei lulusan sekolah pasti berdasarkan data-data ekonomis dan popularitas. Entah alumnus tersebut korupsi di kedinasan, menyogok panitia tender, sudah jarang shalat, tidak pernah bayar zakat, selalu buang sampah sembarangan, peminum miras, atau pemulut kotor, tidak pernah dijadikan indikator kesuksesan pendidikan.
Padahal, pendidikan nasional tidak bertujuan demikian. Entah dirimu menjadi dokter atau menteri, yang penting adalah “beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Kalau sudah begini, siapa mau disalahkan? Borok pendidikan yang menjangkiti semuanya: pihak sekolah, orang tua, masyarakat, hingga siswa itu sendiri. Kesemuanya, telah berorientasi pada pemenuhan pasar, yaitu menjadi pribadi yang menang dan unggul di pasar.
Apakah Islam juga menghendaki demikian?
(lanjut di bagian 2)
Oleh: Dzhilaal Bahalwan, Mahasiswa S-2 Dirasah Islamiyyah UIN Sunan Ampel Surabaya