Filosofi pendidikan Islam memiliki frekuensi yang sama dengan tujuan pendidikan nasional, yaitu mengedepankan keimanan dan pembentukan pribadi yang dapat memberi kebaikan bagi dirinya dan lingkungan sekitar. Tujuan pendidikan Islam sama dengan tujuan hidup manusia, yaitu sebagai alat untuk memelihara kelanjutan hidupnya sebagai individu dan masyarakat.

Menurut Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany dalam bukunya Falsafah at-Tarbiyah al-Islamiyah, menyebutkan ada lima prinsip pendidikan Islam yaitu:

  1. Universal (menyeluruh)

Islam berusaha membina individu sebagaimana ia membina masyarakat dan menghargainya sekaligus. Pendidikan Islam pada prinsip ini bertujuan untuk membuka, mengembangkan dan mendidikan segala aspek pribadi manusia dan dayanya. Pendidikan Islam juga mengembangkan segala segi kehidupan dalam masyarakat, turut menyelesaikan masalah sosial dan memelihara sejarah dan kebudayaan.

2. Keseimbangan dan Kesederhanaan

Pendidikan Islam dalam prinsip ini bermakna mewujudkan keseimbangan antara aspek-aspek pertumbuhan anak dan kebutuhan-kebutuhan individu, baik masa kini maupun akan datang, secara sederhana yang berkesesuaian dengan semangat fitrah yang sehat.

3. Kejelasan

Prinsip ini berrtujuan untuk memberi makna dan kekuatan terhadap pengajaran. Prinsip ini mendorong pengajaran untuk bertolak pada arah yang jelas untuk mencapai tujuan dan menghalangi terjadinya perselisihan dalam persepsi dan interpretasi.

4. Realisme dan Realisasi

Prinsip pendidikan Islam adalah sesuai denga fitrah kehidupan. Pendidikan yang diselenggarakan sesuai dengan kondisi dan kesanggupan individu. Artinya adalah pendidikan yang sesuai dengan psikologi anak, tahap kematangan jasmani, akal, emosi, spiritual dan sosial. Pendidikan Islam juga sesuai dengan tatanan masyarakat, kebudayaan, dan peradaban.

5. Prinsip Dinamisme

Pendidikan Islam tidak beku dalam tujuan, kurikulum dan metode-metodenya, tetapi selalu memperbarui dan berkembang. Ia memberi respon terhadap perkembangan individu, sosial dan masyarakat, bahkan inovasi-inovasi dari bangsa-bangsa lain.

Ahmad Tafsir pun menyatakan demikian. Ia mengatakan bahwa lulusan yang diharapkan oleh pendidikan Islam adalah lulusan terbaik yang memiliki dua ciri, yaitu mampu hidup tenang dan produktif dalam kehidupan bersama.

Dalam dua ciri tersebut, dijabarkan lebih lanjut menjadi tiga ciri turunan. Pertama, badan sehat dan kuat. Kesehatan badan diperlukan agar tenang dan mampu produktif. Kuat ialah kemampuan otot dan non-otot dalam menyelesaikan pekerjaan.

Kedua, otaknya cerdas serta pandai. Ciri yang paling mudah dari karakter ini ialah mampu menyelesaikan masalah secara cepat dan tepat. Adapun pandai adalah memiliki banyak pengetahuan. Kecerdasan dan kepandaian penting agar manusia dapat tenang dan prrodukti. Tugas pendidikanlah agar melatih kecerdasan dan kepandaian seseorang.

Ketiga, beriman kuat. Sulit dibayangkan jika seseorang akan mudah hidup tenang bila ia tidak beriman. Mungkin saja banyak masalah yang dapat ia selesaika dengan menggunakan kemampuan rasionalitasnya. Namun akan banyak masalah yang ia tidak akan mampu merasionalkannya. Pada kasus inilah, manusia memerlukan iman yang kuat.

Berdasar pada kedua argumentasi cendikiawan tersebut, telah tersurat bahwa kebutuhan dan cita-cita berwujud material dan popularitas tidak ada dalam tujuan dan karakter pendidikan Islam. Kebutuhan material hanya dicapai untuk kepentingan realis belaka dan dalam kadar cukup.

Hal terpenting bagi pendidikan Islam adalah keimanan, sesuai fitrah manusia, dan upaya penyelesaikan masyarakat umum. Tugas menjadi khalifah fi al-ardh adalah visi besar pendidikan Islam. Bukan menjadi dokter, direktur perusahaan, ataupun menteri.

Selama keimanan kuat, berbadan sehat, dan senantiasa menyelesaikan problem keummatan, maka telah tercapai tujuan pendidikan Islam. Jika belum, apapun jabatan dan berapapun jumlah kekayaannya, maka telah melenceng dari tujuan pendidikan Islam.

Sudah saatnya papan-papan capaian alumni berganti arah. Dari yang sebelumnya menampang para pejabat, menjadi penampang para pebakti umat.

Oleh: Dzhilaal Bahalwan, Mahasiswa S-2 Dirasah Islamiyyah UIN Sunan Ampel Surabaya